dinsdag 8 mei 2012

Aku (Belum) Terlambat Mengatakannya...

Hari itu seusai sholat maghrib, aku dan suami berkunjung ke tetangga seberang. Senang sekali setelah bertahun-tahun tinggal di Belgia, sekarang punya tetangga, sama-sama orang Indo pula. Jadi bisa saling anjang sana, seperti yang kami lakukan malam ini.

Apartemen yang hanya berjarak beberapa meter, tepatnya hanya berseberangan jalan dengan studio kami, nampak minimalis dan agak modern. Modelnya yang modern sangat pas jika dilihat bangunan keren di seberangnya, yaitu campus Vlerick. Eiits...koq jadi ngomongin bangunan apartemennya sih...hehe. Kembali ke laptop!

Keluarga yang akan kami kunjungi kali ini adalah keluarga asal Aceh. Keluarga kecil ini sedang berbahagia sekali karena setelah penantian berbulan-bulan, akhirnya mereka bisa berkumpul bersama. Mbak Dekta dan putrinya, Nadia, baru datang menyusul ke Belgia beberapa hari yang lalu. Alhamdulillah...

Meski jam sudah menunjukkan waktu yang agak larut, kami masih asyik mengobrol. Sampai suatu saat mbak Dekta menunjukkan setumpuk novel yang baru dibawanya dari Indonesia. Hwaa... aku langsung menyambutnya dengan mata berbinar-binar. Kalaaap! Maklumlah sejak tinggal di Belgia, kesukaanku membaca novel agak sulit dikerjakan, aku hanya mengandalkan ebook-ebook gratisan yang bertebaran di dunia maya. Padahal tidak semua novel yang best seller itu ada ebook-nya. Nyaris kalap pingin pinjem semuanya, akhirnya kuputuskan untuk meminjam sebuah novel berjudul "Ayahku (Bukan) Pembohong" karya Tere Liye. Ingin tahu kenapa saya tertarik dengan novel ini?

Mbak Dekta bercerita, setelah membaca buku ini, 
Nadia langsung menelepon ayahnya dan berkata, "Nadia sayang Ayah...". 
Kalimat sederhana itu meluncur lembut dari bibir mungilnya 
dan berhasil membuat sang Ayah yang berada di ujung telepon berkaca-kaca menahan haru.


Baru membaca sinopsis belakangnya, hatiku membeku...kaku...perih seperti terantuk batu...teringat almarhum Abah yang sudah beristirahat di sana. Setitik embun nyaris menetes dari sudut mataku. Tahaaan...tahaaan... Alhamdulillah, aku berhasil menahan "bendungan" ini agar tidak jebol. 'Kan malu kalo ketahuan...hehe

Tak lama kemudian, kami pun berpamitan... Tak sabar rasanya kutunggu hari esok, untuk memulai petualanganku bersama "Ayah".

Keesokan harinya, mulai kubaca halaman demi halaman, lembar demi lembar dengan penuh semangat...meski pekerjaan itu kulakukan sambil disambi, atau terhenti karena memasak, berbelanja, membersihkan rumah, makan, sholat, ngaji, mandi, dan tidur. 

Sejujurnya, membaca bagian awal dari novel ini, jiwaku tak terlalu terbawa karena Abah-ku (agak) berbeda dengan karakter "Ayah". Hal ini agak berbeda saaat aku membaca novel Hafalan Sholat Delisa karya penulis yang sama, sejak awal aku sudah bersimbah air mata. Alur cerita yang maju-mundur, membuat novel ini menjadi seru (menurutku). Dan akhirnya....tiba di bagian-bagian akhir... aku menyerah. Tak mampu kumenahannya...terlebih saat kusadari bahwa Aku terlambat mengatakannya...

 ..., dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya. (kutipan sinopsis di sampul belakang novel)

Aku tak bisa melakukan seperti yang dilakukan Nadia. Mengangkat telpon dan memencet nomor telpon Abah mungkin bisa... tapi yang akan mengangkatnya adalah Ummi, bukan Abah. Abah sudah tiada setahun yang lalu, tanpa kusempat mengatakannya. Mengungkapkan kata-kata yang sama seperti yang diucapkan Nadia pada ayahnya. Begitu pun berlari memeluknya...aku juga tak bisa. Bahkan aku sudah tak serumah dengan beliau hampir empat tahun yang lalu.

Memohon pada Allah untuk bisa mengatakannya meski lewat mimpi? itu tidak menjadi pilihanku.

Apa yang bisa kulakukan? Ya Allah, aku hanya ingin mengatakannya... Sudahkan ini betul-betul terlambat?


Seusai sholat maghrib, aku terpekur. Hanyut dalam syahdu permohonan pada Sang Maha Kuasa. Kuungkapkan semua rasa. Mungkin ini salah satu cara Allah untuk mengingatkanku agar aku terus berbakti pada kedua orang tuaku, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada. Aku tak akan pernah mampu membalas kebaikan mereka. Bahkan aku merasa belum bisa membahagiakan almarhum Abah dan aku...aku belum sempat mengatakannya. 

Dalam hati aku terus berjanji, untuk bisa mengungkapkan rasa ini dengan caraku sendiri. Suatu cara yang berbeda dengan yang dilakukan Nadia. Aku hanya ingin berusaha menjadi anak yang sholeh yang kebaikannya terus mengalir pada kedua orang tuanya... Semoga amal kebaikanku yang masih sedikit ini terus mengalir pada beliau berdua....Abah dan Ummi...

Kalau pun aku tak mampu membahagiakan mereka di dunia, 
semoga aku bisa membuatnya tersenyum bahagia di Jannah-Nya nanti.
aamiin

Abah, meski raga telah terpisah. Aku berjanji...berjanji pada diriku sendiri. 
Untuk selalu mendo'akanmu...
Allohummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu
Allohumma laa tahrimna ajrohu walaa taftinna ba'dahu waghfirlana walahu
Untuk selalu mencontoh kebaikan yang telah kau ajarkan...
Agar pahalanya juga mengalir padamu
I love u, Abah

Robbanaa aatina fid dunya hasanah wafil aakhiroti hasanah wa qina 'adzaabannaar
Robbighfirlii waliwalidayya warhamhuma kamaa robbayaani shoghiiro


Leuven, 8 mei 2012
with love,
Elly
*suasana di luar mendung...terkadang gerimis...membuat hatiku semakin melow dibuatnya*