sumber gambar : dari sini
Siapa yang berkata bahwa kisah cinta sejati terbaik di muka bumi ini adalah roman antara Romeo dan Juliet karya William Shakepeare, sesungguhnya belum pernah mendengar kisah cinta Ali bin Abi Thalib RA, sang pemuda cekatan yang cinta akan ilmu dan putri Sang Rasulullah Sallahu ‘alaihi Wasallam sendiri, si wanita tegar yang lembut, Fatimah Az zahra. Pasti, karena kisah Romeo dan Juliet tak lebih dari sebuah roman yang dilukis di atas kertas. Berbanding terbalik dengan kisah yang dilandasi iman dan cinta pada Allah Subhanahu wata’alla dan ini benar-benar terjadi sekitar 14 abad silam menghiasi indahnya langit jazirah Arab pada masa itu.
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak
dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, Karib kecilnya, puteri tersayang
dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis
itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan
kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka
dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk
menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad
ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh
kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan
tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik
mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu
kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang
tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah
dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya
dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak
awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu
Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan
di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan
kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada
Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi
kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan
beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak
tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu
Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi
Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang
pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir
yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn
Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu
Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu
Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang
gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum
Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat
syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan
kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam
belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk
mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang
hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan
lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan
’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu
coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar
melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam
kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu
’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit
pasir. Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke
atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab
akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya
menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar
di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi
sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda
yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah!
Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman
sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang
seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti
Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang
kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan
mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk
mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin
Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin
Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman
Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar
Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda
Nabi.. ”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri,
disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia
tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada
satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk
makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia
siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap
memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah
Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur
tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit
untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah,
mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia
siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada
menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya
dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau
mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau
mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi
berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar,
dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan
janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki
yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan
cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan
dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang
pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah
denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali
bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya
dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha
(menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan
kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan
dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”
(kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah
2:183, bab4)
sumber : dari sini
Geen opmerkingen:
Een reactie posten