"Apa hikmah enam tahun pernikahan kita, Mas? tanyaku ingin tahu pada mas Achmad, yang tak lain adalah suamiku tercinta, di perjalanan pulang menuju rumah dari dinner date semalam.
...
Dear all,
Hari ini...tepat 6 tahun yang lalu, rumahku ramai, tidak seperti biasanya. Hampir seluruh keluargaku sibuk, begitu pun dengan tetangga kanan-kiriku. Bahkan kesibukan sudah mulai tampak beberapa hari sebelumnya. Meski repot, tetapi semuanya bahagia. Keceriaan tampak di wajah-wajah mereka. Bunga-bunga yang dirangkai dengan indah ditata di setiap sudut rumah. Kursi-kursi ditata rapi dan tenda yang cukup besar pun sudah berdiri tegak di halaman rumah (bahkan) sampai di jalan depan rumah. Beraneka makanan dan minuman telah disiapkan untuk suguhan bagi para tamu undangan. Tidak berlebihan sepertinya, karena akan banyak orang yang berdatangan. Tetapi, semua itu tetap dalam kesederhanaan. Ada apa gerangan? Ternyata ada hajatan di rumahku. Abah dan ummi melakukan tasyakuran atas pernikahan putri bungsunya, yaitu aku.
Almarhum Abah dan suamiku
- dua laki-laki yang sangat kucintai dan kuhormati -
Banyak hikmah dan pelajaran yang kami dapat. Di antaranya adalah hikmah KEBERSAMAAN. Hikmah ini sangatlah kami rasakan. Mengapa?
Awal kebersamaan, rahasia Tuhan
Pada awalnya, kami adalah dua insan yang tidak saling mengenal. Sampai suatu ketika, biidznillah, ada teman kami yang mengenalkan. Singkat cerita, akhirnya kami ber-ta'aruf. Sebuah istilah yang cukup nge-trend beberapa tahun yang lalu, saat lahir sebuah novel karya Kang Abik yang cukup fenomenal, yaitu "Ayat-Ayat Cinta". Ada juga teman yang bilang proses pernikahan kita ala Fahri dan Aisha, tokoh yang ada di novel itu.Hmm...sebenarnya aku ga terima dibilang begitu. Karena mungkin kisahku akan lebih indah dibanding novel itu, hanya saja aku yang tak sepandai kang Abik dalam merangkai cerita...hehe, just kidding loh! tetapi yang pasti, kelebihannya adalah kisahku adalah sebuah kisah nyata yang terjadi beberapa tahun sebelum novel ini terbit (teuteup yach...hehe. maksa.com). Tetapi, pada intinya...tahap pernikahan dengan cara seperti ini adalah sangat mungkin terjadi (soalnya banyak yang menganggap metode ini ngga mungkin...) dan lebih seru...pacaran setelah menikah:-).
Proses ta'aruf yang tidak lama ini (mulai dari ta'aruf, perkenalan keluarga hingga hari -H- memakan waktu skitar 2 bln...ingin tahu cerita serunya? tunggu saja ya...:D), alhamdulillah berujung pada pernikahan ini, membuatku merasa semakin tak berarti di hadapan Allah yang Maha Besar. Apalagi kalau dipikir-pikir, waktu itu saya adalah seorang mahasiswi baru (meski sebelumnya aku sudah bergelar Ahli Madya / A.Md dan sempat bekerja sebagai junior auditor). Baru duduk di semester satu lagi. hari-hari kuliah akan dipenuhi dengan berbagai tugas, belum lagi KKN dan PPL yang masih harus kutempuh di semester-semester berikutnya. Suatu hal yang tak pernah terpikir oleh kami sebelumnya, terjadi begitu saja (tentu akhirnya, keputusan ini dibuat dengan penuh tanggung jawab loh...), tentu atas kehendak-Nya. Sejak awal "kebersamaan" kami, aku merasa bahwa inilah anugerah dari Allah, yang mungkin juga jawaban atas pintaku pada-Nya:). Bahkan "kebersamaan" ini, dengan suka dukanya, ternyata tidak menjadi penghalang bagiku untuk kemudian bisa menyelesaikan studi selama (tepat) 2 tahun dan dengan hasil "cumlaude". Alhamdulillah. Tentu, tidak terlepas dari support, pengertian dan do'a yang cukup besar dari suami dan juga keluargaku.
LDR
Sebelum aku menyelesaikan tugas akhir, aku mendapat kabar gembira. Suamiku berkesempatan melanjutkan studi di Belgia dengan beasiswa. Alhamdulillah, sebuah kesyukuran yang tak terhingga. Namun di sisi lain, ada perasaan yang hampa. Di saat aku ingin memulai kehidupan rumah tangga yang normal, dimana aku bisa berperan sebagai istri yang (lebih) baik, seiring dengan selesainya tugasku sebagai seorang mahasiswi. Dalam kondisi itu, aku dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa aku harus "berjauhan" dengan suami. Karena tidak mungkin kami bisa pergi bersama-sama. Aku masih harus menuntaskan tugas akhir dan suami yang juga masih harus beradaptasi kondisi di Belgia (apakah aku memungkinkan ikut atau tidak?).Ya Allah... dalam sujudku pun aku berharap agar Allah memberi jalan keluar terbaik untuk kami. Suamiku berusaha meyakinkanku bahwa ia akan mencari informasi ttg kemungkinan aku menyusul ke sana. Sungguh...aku jadi agak terhibur dengan janjinya, apalagi aku memang mendukung rencana studi-nya ini. Demi mengejar ilmu dan pengalaman yang barokah...insya Allah. Akhirnya, di pertengahan Ramadhan th 2007, aku melepas keberangkatan suamiku untuk menuntut ilmu. Berattt... tapi, berusaha ikhlas. terasa berat, mungkin karena selama ini aku belum pernah terpisah dari orang-orang terdekatku. Sejak lahir hingga menikah aku menetap di Malang bersama keluarga. Berbeda dengan suamiku, setidaknya dia sudah lebih terlatih untuk "jauh", dengan pengalamannya merantau sejak kuliah. Otomatis sejak hari itu, kami menjalani yang namanya LDR (Long Distance Relationship). Hari-hari dipenuhi dengan suka duka. Kadang-kadang ada tawa, air mata, canda atau kesalah-pahaman. Alhamdulillah masih ada telpon dan internet yang cukup membantu kami dalam menjaga "kebersamaan" ini. Satu sarana lain yang luar biasa membantu terjaganya "kebersamaan" ini adalah Do'a. Kami yakin, do'a itu tidak terbatas dimensi ruang dan waktu, dan juga akan didengar oleh Allah yang Maha mendengar. Hal ini membuatku sering terhanyut dalam buaian do'a.
Family Reunion
Alhamdulillah setelah setahun lebih menjalani LDR, saya berkesempatan untuk menyusul suami ke Belgia. Cerita tentang awal perjalananku ke Belgia secara lengkapnya bisa dibaca di sini. Alhamdulillah, fabiayyi aala i robbikuma tukadz dzibaan...Sungguh dengan adanya pengalaman LDR, membuatku lebih menghargai "kebersamaan" ini. Apalagi banyak nikmat yang telah Ia berikan padaku, termasuk kesempatan untuk melihat kebesaran Allah di belahan bumi yang lain. Kesempatan untuk hidup di negara yang berbeda jauh budaya dan karakter orang-orangnya. Kesempatan untuk bergaul dengan berbagai macam orang dengan berbagai karakter dan latar belakang. Kesempatan untuk menikmati hal-hal yang belum pernah kubayangkan, tinggal di luar negeri. Semoga barokah (edisi berbagi cerita ttg aktivitas yang kuikuti di sini menyusul ya, sedang dalam proses "pengetikan"...hehe).
Enam Tahun
Subhanalloh walhamdulillah...enam tahun sudah layar ini terkembang, mengarungi bahtera kehidupan. Semoga semakin terarah pada tujuan dan semakin kokoh dalam menghadapi setiap halang rintang. Semoga indahnya "kebersamaan" kami yang masih berdua ini, disempurnakan oleh Allah dengan hadirnya keturunan yang sholeh/ah, yang bisa menjadi pewaris kebaikan dan menjadi investasi bagi kami di dunia dan di akhirat. Semoga "kebarsamaan" kami bisa memberi manfaat bagi kami sendiri, dimana kami bisa saling melengkapi satu sama lain dan saling berbagi, dan juga bagi orang-orang di sekeliling kami. Semoga Allah meridloi.
Suamiku, terima kasih atas segenap cinta, kasih sayang, pengertian dan pengorbanan... semoga Allah membalas semua itu dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Suamiku, mohon maaf jikalau aku masih belum menjadi istri yang baik untukmu, aku masih belajar untuk menjadi istri yang shalihat, qanitat dan hafidzat. Bimbing aku ya..
Semoga Allah memberikan keberkahan, sakinah, mawaddah, rahmah, wad da'wah dalam rumah tangga kita khususnya, dan rumah tangga-rumah tangga muslim yang lain.
"Apa hikmah enam tahun pernikahan kita, Mas?" tanyaku ingin tahu pada mas Achmad, yang tak lain adalah suamiku tercinta, di perjalanan pulang menuju rumah dari dinner date semalam.
"Kebersamaan" jawabnya singkat sambil tersenyum padaku.
Semoga kami semakin mensyukuri "kebersamaan" ini dengan semakin menyempurnakan ketaatan pada-Nya
mijn man en ik
- Wij houden van elkaar omwille van Allah -
Leuven, 19 November 2011
Geen opmerkingen:
Een reactie posten