maandag 28 januari 2013

Perayaan Maulid Nabi, Bolehkah?





sumber gambar dari sini

Bulan Rabiul Awal 1433 H...

Memasuki bulan Rabiul awal, memori kita langsung ingat akan suatu kejadian agung, yaitu kelahiran manusia terbaik dan paling mulia, Muhammad SAW. Betapa tidak? setiap tahunnya di tanah air kita pasti disibukkan dengan perayaan Maulid Nabi. Di kampung-kampung, di sekolah-sekolah, sampai setiap tanggal 12 Rabiul Awal pun sekolah diliburkan. Mulai ada yang menggelar pengajian umum, pembacaan sholawat, aneka perlombaan dan saling berkirim makanan dengan tetangga. Meriaaah sekali!

Nah, kemudian muncul pertanyaan, bolehkan merayakan Maulid nabi ini? Tanpa bermaksud menyuarakan riak-riak perbedaan yang ada, saya mencoba berbagi.

Menurut siroh yang pernah saya baca, Perayaan Maulid Nabi baru dilaksanakan oleh kelompok Fathimiyyin, pendukung Fathimah binti Muhammad, di Mesir. Salah satu kelompok berfaham syiah ini tidak hanya merayakan hari kelahiran Nabi saja, tetapi juga ahlul bait yang lain. Mereka merayakan dengan pesta dan berbagi makanan. Tidak itu saja, mereka juga sambil menyebarkan ajaran syi'ah.

Bagaimana dengan maulid di zaman Rasulullah SAW, para sahabat, dan tabi'in tidak pernah melaksanakan Maulid Nabi. Apakah Nabi tidak mensyukuri hari kelahirannya? Untuk menjawabnya, kita bisa melihat hadits yang diriwayatkan dari Abu Qotadah r.a, sesungguhnya Rosulululloh SAW ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab : "Hari Senin adalah hari lahirku, hari aku mulai diutus atau hari mulai diturunkannya wahyu". (HR Muslim no.1162). Shoum sunnah Senin ini-lah yang ternyata merupakan bentuk syukur Rasulullah atas kelahirannya dan diangkatnya beliau SAW menjadi Nabi.

Hal inilah yang membuat sebagian ulama, berpendapat bahwa kita TIDAK BOLEH melaksanakan peringatan Maulid Nabi. Mereka menganggap bahwa perayaan Maulid Nabi tergolong bid'ah karena tidak ada di zaman Rasulullah. Selain itu salah seorang ulama Fiqh, Abdul Karim Al Hamdan melihat bahwa praktek perayaan oleh kaum Fathimiyyin itu cenderung berbau sufi, kultus individu, dan berlebihan, yang tidak sesuai syariat Islam.

Ada pula ulama yang memberikan pandangan agak berbeda, di antaranya Dr M Alawi Al Maliki Al Huseini. Beliau membolehkan peringatan Maulid Nabi dengan kegiatan yang bertujuan mempelajari siroh nabawiyah, bersholawat, berbagi kebahagiaan dengan sesama muslim. Asalkan, pelaksanaannya tidak dikhususkan di malam tertentu (misal, harus malam 12 Rabiul awal). Begitu pula pendapat dari beberapa ulama' Al Azhar, yang ikut membolehkan asala tidak mengandung maksiat atau lebih banyak mudhorotnya. Jika terjadi yang demikian, maka sebaiknya menggunakan kaidah "mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada meraih maslahat".

Nah, jelaaaas kan?

Menurut saya sendiri, saya berharap bahwa peringatan Maulid dilaksanakan sebagai bentuk keta'atan pada Allah dan rasul-Nya, yang tentunya tiada mungkin bercampur antara keta'atan dengan kemaksiatan. Kita upayakan dengan maulid nabi, kita bisa lebih mengenal lagi sosok beliau SAW. Dan setelah mengenal, tentunya kita tanamkan kecintaan dalam diri kita. Dan kemudian, yang tidak kalah pentingnya adalah wujudkan kecintaan itu!

Sangat disayangkan juga, jika kita sudah puluhan kali merayakan Maulid Nabi dan menghabiskan uang yang tidak sedikit misalnya, akan tetapi tak menjadikan kecintaan kita bertambah pada rasulullah SAW. Hanya sekedar formalitas peringatan hari besar Islam. Sayang... jika kita, umat Islam, ini masih begini-begini saja... sementara ada sosok teladan yang sudah ada di depan mata. Bagaimana mungkin kita mau meneladaninya, kalau kita belum mengenalnya?

Imani...kenali...cintai...dan teladani!

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
[QS. Al-Ahzaab: 21]

wallohu a'lam bish showab

Geen opmerkingen:

Een reactie posten