donderdag 4 april 2013

Surat Al Baqarah adalah Surat Pengusir Setan ??

sumber gambar: dari sini

Mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya, mengapa setan harus diusir? sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya telah jelaskan, bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Sebagaimana Allah berfirman "Setan adalah musuh yang nyata bagimu..." (QS Al Fathir 6). Setan pun terus berupaya "menjauhkan" manusia dari Rabb-nya, termasuk dengan mengganggu di rumah-rumah kita. namun, Allah pun telah memberikan solusi dalam mengatasi hal ini.

Dari Abu Hurairah ra sesungguhnya rasulullah SAW bersabda, 
"Jangankan kau jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. 
Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah.
(HR Imam At Tirmidzi no 2877) 
Dalam riwayat lain, "Sesungguhnya rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah, 
rumah itu tidak akan dimasuki setan." (HR Muslim 780). 
Dari Abdullan bin Mas'ud ra, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah salah seorang dari kalian menggemari perbuatan tumpang kaki, sambil bernyanyi dan meninggalkan bacaan surat Al Baqarah. Karena sesungguhnya setan akan lari dari satu rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah. Dan sesungguhnya rumah-rumah yang paling sepi adalah yang kosong dari kitab Allah (bacaan Al Qur'an)" (HR Imam An Nasa'i dalam As Sunan Kubra no 10799, dengan sanad sahih).
 Dari Abdullah bin Mas'ud ra, ia berkata "Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah jamuan Allah. Barangsiapa yang mampu untuk mempelajari dari jamuan-Nya, maka kerjakanlah. Sesungguhnya rumah yang paling sepi dari kebaikan, adalah rumah yang tidak ada di dalamnya sesuatu dari kitab Allah SWT. Dan sesungguhnya rumah yang tidak ada di dalamnya sesuatu bacaan Al Qur'an, seperti tempat reruntuhan rumah yang tidak ada penghuninya. 
Sedangkan setan akan keluar dari rumah yang dbacakan surat Al Baqarah di dalamnya.
(HR Abdul Razaq dalam kitab Fadhail al Qur'an no 5998. 
Atsar ini dikatakan shahih karena perawinya terpercaya).

Dalam hadis tersebut, Nabi SAW membandingkan antara rumah dengan kuburan. Beliau memerintahkan agar rumah kita tidak dijadikan seperti kuburan. Salah satu sifat yang mencolok dari kuburan adalah itu bukan tempat ibadah dan tidak ber"penghuni". Agar rumah kita tidak seperi kuburan yang bisa jadi banyak setan pengganggunya, maka hendaknya kita gunakan rumah untuk ibadah. Hadis ini sekaligus menuntut kita yang belum bisa membaca Alquran agar segera dan serius dalam belajar Alquran. Untuk menjadikan rumah kita sebagai taman bacaan Alquran, tidak mungkin setiap hari Anda harus mengundang orang lain. Hadits tersebut juga merupakan targib agar membaca Al Qur'an di dalam rumah, terutama surat al Baqarah. Adapun keterangan Rasulullah SAW, "Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan" artinya sepi dari szikir kepada Allah SWT dan amal baik lainnya, maka rumah itu seperti kuburan atau seperti ada yang mati di dalamnya. karena, rumah yang selalu dibacakan al Baqarah tidak akan dimasuki setan."

Dalam hadits Sahal bin Sa'ad ra, beliau menerangkan, bahwa orang yang membaca surat Al Baqarah di dalam rumahnya pada waktu malam, tidak akan dimasuki setan selama tiga malam. Dan apabila membacanya siang, setan tidak akan memasuki rumahnya selama tiga hari (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya 780).

Subhanalloh...betapa Allah sudah menurunkan Al Qur'an sebagai pedoman hidup, obat hati, bacaan, dan kemuliaannya. Bahkan juga di dalamnya terdapat surat Al Baqarah yang salah satu fadhilahnya adalah mengusir setan atau meruqyah rumah kita.

Sekali lagi, tidak ada ruginya kita mulai membiasakan diri untuk membaca Al Qur'an dan mentadabburinya secara rutin. Sesungguhnya rumah yang dibacakan di dalamnya Al Qur'an serta mentadabburinya, akan disinari oleh seluruh penduduk langit sebagaimana bintang-bintang menyinari seluruh penduduk di muka bumi.
Mu'mar mendengar dari seorang laki-laki penduduk Madinah berkata, "Sesungguhnya seluruh penduduk langit akan menyinari rumah yang dibacakan di dalamnya Al Qur'an dan beribadah (shalat), sebagaimana bintang-bintang yang berada di langit menyinari seluruh penduduk bumi." (Disebutkan oleh Abdul Razaq dalam kitab Fadhail Al Qur'an no 5339)


Ada beberapa rutinitas yang selayaknya dilakukan, agar rumah kita selalu dijauhi setan yang suka mengganggu:
1. Rajin baca Alquran dan ibadah apapun di dalam rumah.
Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
Jadikanlah bagian shalat kalian di rumah kalian. Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan.” (HR. Bukhari 432, Muslim 777, dan yang lainnya).
Maksud shalat di sini adalah shalat sunah yang dikerjakan sendiri dan tidak berjamaah. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis:
إِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلاَةَ المَكْتُوبَةَ
Susungguhnya shalat seseorang yang paling utama adalah shalat yang dikerjakan di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari 7290 dan yang lainnya).
Hadits diterima dari Abu Hurairah, ia berkata, "Apabila dibacakan Al Qur'an dalam satu rumah, akan meluaskan penghuninya. memperbanyak kebaikan, mendatangkan para malaikat, dan mengeluarkan setan dari rumah tersebut. Sedangkan rumah yang tidak dibacakan Al Qur'an di dalamnya, akan menyempitkan penghuninya, sedikit kebaikan, akan mengusir Malaikat dan mendatangkan setan." (HR Imam Ad Darimi dan Ibnu Abi Syaibah, dengan sanad shahih).

2. Jangan pedulikan segala bentuk gangguan.
Sikap cuek, tidak peduli, ternyata menjadi cara ampuh untuk mengusir setan. Setan sebagaimana manusia, ketika dia mengganggu, kemudian tidak digubris, bisa jadi dia akan bosan untuk mengganggu Anda.
Berbeda ketika Anda merasa ada yang mengganggu, kemudian Anda cari-cari di mana tempatnya, atau bahkan Anda ajak bicara, atau Anda siram dengan garam dan semacamnya, dia akan semakin menjadi-jadi dalam menggoda Anda.
Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Aku pun mengatakan, “Celakalah setan”. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang,
لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ
Janganlah kamu ucapkan ‘celakalah setan”, karena jika kamu mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi,  ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.” (HR. Ahmad 5:95 dan Abu Daud 4982 dan dishahihkan al-Albani)
Ketika Anda mendengar atau melihat ada sesuatu yang mengganggu, segera mintalah perlindungan kepada Allah dan berdoa kepada-Nya.

3. Membaca doa setiap akan beraktivitas, misal :
a. ketika masuk rumah
Hal kecil yang mungkin perlu dibiasakan adalah memulai segala yang penting dengan doa atau dzikir. Salah satunya, ketika kita masuk rumah. Meskipun kelihatanya remeh, namun hasilnya luar biasa.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ، وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ، وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يُذْكَرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ
Apabila ada orang yang masuk rumah, kemudian dia mengingat Allah ketika masuk, dan ketika makan, maka setan akan mengatakan (kepada temannya): ‘Tidak ada tempat menginap dan tidak ada makan malam.’ Tapi apabila dia tidak mengingat Allah (bismillah dan jangan lupa ucapkan salam) ketika masuk, maka setan mengatakan: ‘Kalian mendapatkan tempat menginap’.” (HR. Muslim 2018, Abu Daud 3765 dan yang lainnya)
Ada doa khusus ketika masuk rumah, akan tetapi doa ini dinilai dhaif oleh al-Albani. Karena itu, makna dzikir kepada Allah adalah membaca basmalah.
b. doa ketika hendak makan
Membaca basmalah ketika hendak makan, menjadi penghalang setan untuk ikut makan bersama Anda. Hadis dari Jabir di atas menegaskan hal ini,
وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يُذْكَرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ، فَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ
Tapi apabila dia tidak mengingat Allah ketika masuk maka setan mengatakan: ‘Kalian mendapatkan tempat menginap’. Dan jika dia tidak mengingat Allah ketika makan maka setan akan mengatakan: ‘Kalian mendapatkan tempat menginap dan makan malam’.” (HR. Muslim 2018, Abu Daud 3765 dan yang lainnya)
c. doa ketika tutup pintu
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan banyak saran agar kita tidak terganggu setan. Salah satunya:
وَأَغْلِقُوا الأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا
Tutuplah pintu, dan sebutlah nama Allah. Karena setan tidak akan membuka pintu yang tertutup (yang disebut nama Allah).” (HR. Bukhari 3304, Muslim 2012 dan yang lainnya)
Sekali lagi, hanya dengan membaca: Bismillah..
d. doa ketika keluar rumah
Satu doa ketika keluar rumah. Ringkas, mudah dihafal, tapi khasiatnya besar:
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
BISMILLAHI TAWAKKALTU ‘ALALLAAH, LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH
Dengan nama Allah aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.
Dalam hadis dinyatakan, siapa yang keluar rumah kemudian dia membaca doa di atas, maka disampaikan kepadanya: Kamu diberi petunjuk, dicukupi dan dilindungi. Maka setan kemudian berteriak:
كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ
“Bagaimana kalian bisa mengganggu orang yang sudah diberi hidayah, dicukupi, dan dilindungi.” (HR. Abu Daud 5095, Turmudzi 3426 dan dishahihkan al-Albani)




Wallohu a'lam bish showab

sumber : Mushaf Al Burhan

woensdag 3 april 2013

Baiti Jannati

sumber gambar : dari sini


Rumah tangga dalam Islam diawali dengan adanya ijab qabul. Sebuah perjanjian agung yang dilandaskan pada keimanan dan ketaatan. Setiap orang di dalamnya memiliki hak dan kewajiban yang saling melengkapi. Adapun fungsinya adalah dijadikan tempat berteduh, tempat berbagi, tempat "merumuskan" cita, tempat terwujudnya suasana yang sakinah (ketenangan) mawaddah (rasa cinta) warahmah (dan kasih sayang). Harapan ini terlantun saat kita menghadiri sebuah acara walimahan, melalui sebuah do'a yang kita peruntukkan untuk si pengantin.

Barakallahu laka wa baraka ‘alaik, wa jama’a bainakuma fi khair
Mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik ketika senang mahupun susah 
dan selalu mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan”
(HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Majjah)

Subhanalloh..betapa indahnya rumah tangga seperti ini. Kondisi seperti inilah yang dibutuhkan dalam rangka tumbuh kembang anak sehingga terlahir anak-anak yang sehat jasmani rohaninya.

"Bila rumah hanya dijadikan sebagai tempat beristirahat, apa bedanya dengan penginapan? 
Bila rumah hanya dijadikan sebagai tempat makan, apa bedanya dengan restoran? 
Bila rumah hanya dijadikan sebagai tempat makan dan beristirahat, apa bedanya dengan hotel?
Jadikanlah rumahmu sebagai "Baiti jannati", dimana seluruh anggota keluarganya merasakan sakinah mawaddah warahmah, merasa betah dan selalu merindukannya."
(pesan orang bijak)

Adapun tatanan fisik dari rumah yang bisa dikatakan sebagai "surga" adalah: 
1. Bersih dan rapi
2. Terhindar dari hal-hal yang bisa melalaikan
3. Ada hijab (terjaga privasi-nya)
4. Terhindar dari hal-hal yang membuat malaikat rahmat tidak mau memasukinya
Rasulullah SAW menjelaskan, "Sesungguhnya para malaikat tidak memasuki sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar timbul/relief (makhluk bernyawa, red)." (HR Ahmad, At Tirmidzi, dan Ibnu Hibban)
5. Memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan (khususnya jiga sudah baligh)
6. Sederhana

Karakter penghuninya:
1. Suami, istri dan anak-anak yang sholeh dan rukun
2. Memiliki rizki yang halal
3. Melakukan aktivitas yang bernilai positif

Kiat untuk menjadikan rumah kita bertabur keberkahan:
1. Sesering mungkin berinteraksi dengan Al Qur'an
Rasulullah SAW bersabda : “Sinarilah rumah-rumah kamu sekalian dengan shalat sunat dan bacaan Al Qur’an“ (HR.Baihaqi). 
Abu Hurairah Rhadiyallahu Anhu berkata, “Rumah yang didalamnya dibacakan Al Qur’an akan dilimpahi kebaikan, dihadiri para malaikat dan akan dijauhi oleh syetan. Dan rumah yang dialamnya tidak pernah dibacakan Al Qur’an, akan terasa sempit, tidak ada kebaikan, didatangi oleh syetan dan dijauhi oleh malaikat“ (Az-Zuhud).
2. Membuat kegiatan yang meningkatkan iman dan takwa, misal. sholat berjama'ah, tadarus Qur'an bersama
3. Membangun kebersamaan, misal. makan bersama, berdiskusi, kerja bakti
4. Selalu bersyukur
5. Membangun suasana yang beraura positif, misal. tidak ada "kata kasar" di rumah, tolong-menolong, saling memuji
6. Menjadikan rumah sebagai tempat "belajar" (peningkatan ilmu)

Dan berdoalah: ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi 
dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat’.” (QS Al Mukminun 29)

Peran kita sebagai istri/ibu yang juga sebagai kepala rumah tangga dalam mewujudkan "Baiti Jannati", di antaranya:
1. Kita berupaya menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga dengan amanah dan sebaik-baiknya
2. Kita senantiasa meningkatkan kemampuan diri dan juga meng-upgrade imtaq
3. Terus belajar
4. Saling menasehati dengan anggota keluarga yang lain
5. Berupaya mendidik anak dengan sebaik-baiknya
6. Menjadi partner yang baik bersama suami dalam membangun baiti jannati
7. Senantiasa bermohon kepada Allah agar dikaruniai keluarga yang bahagia dunia akhirat


Doa memohon ketentraman dalam keluarga

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Ya Rabbi, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah bagi kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa (QS. Furqan 74)

Doa Nabi Nuh as untuk keluarganya

رَّبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا

Duhai Rabbi, ampunilah aku, ibu-bapakku, orang yang masuk kerumahku dengan iman, dan seluruh kaum mu'min laki-laki maupun perempuan. Dan, janganlah Engkau tambahkan kepada orang-orang zhalim itu selain kebinasaan (QS. Nuh 28)

Doa Nabi Ibrahim untuk keluarganya

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Duhai Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang berserah diri kepada-Mu dan jadikanlah anak cucu kami umat yang berserah diri kepada-Mu. Tunjukkanlah kepada kami cara-cara beribadah (kepada-Mu), dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha pengampun lagi Maha penyayang 
 (QS. Al-Baqarah 128)

Wallohu a'lam bish showab

dinsdag 2 april 2013

Tiga Sumber Kebahagiaan

sumber gambar : dari sini
 
 
Dalam sebuah Riwayat, Nabi saw berpesan : “Kebahagiaan manusia itu ada tiga dan deritanya pun ada tiga. Kebahagiaan itu adalah istri yang shalehah, rumah yang bagus dan kendaraan yang baik. Sedangkan derita manusia yaitu : istri yang jahat, rumah yang buruk dan kendaraan yang jelek”. (HR Ahmad dari Sa’ad bin Abi Waqash ra)

Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa sumber kebahagiaan manusia itu ada tiga, yaitu :

Pertama ; Istri yang shalehah (al-mar’atush shalihah). 
Ia adalah jalan mendapatkan anak yang saleh dan rumah yang nyaman (keluarga sakinah).  Kriteria kesalehan istri adalah menyenangkan jika dipandang, merasa nyaman jika ditinggalkan, menjaga kehormatan, harta dan patuh jika diperintahkan (HR. Al-Hakim dan An-Nasai).

Agama menuntun agar menikah karena agamanya, bukan karena kecantikan dan hartanya sebab akan membuatnya binasa dan durhaka (sombong). “Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah istri salehah”.  (Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar). 

Kedua ; Rumah yang bagus (al-maskanush shalih).  Dalam riwayat lain dijelaskan dengan “rumah besar yang banyak didatangi tamu” (ad-daru takuunu waasi’atan katsiroh al-marofiqi).

Rumah tidak hanya tempat berteduh dari panasnya terik matahari dan dinginnya udara malam serta melepaskan lelah. Tapi ia juga tempat  membangun kehidupan keluarga dan  pemimpin umat masa depan.

Rumah adalah tempat menyusun strategi perjuangan dakwah dan sumber inspirasi meraih kesuksesan. Baitii jannatii (rumahku adalah surgaku), demikian sabda Nabi saw.

Secara fisik, rumah yang bagus adalah besar, lega, bersih dan indah dengan pekarangan  tertata rapi. Tapi, secara sosial ia terbuka menerima tamu (silaturrahim) terutama orang-orang lemah (dhuafa dan mustad’afin).

Secara spritual ia menjadi tempat dilantunkan ayat suci Al-Qur’an, mengkaji dan mengajarkannya kepada anak-anak (madrasah), ditegakkan shalat dan untuk taqarrub kepada Allah.  

Ketiga ; Kendaraan yang baik (al-markabush shalih).  Kendaraan adalah simbol status sosial, mobilitas dan interaksi sosial dalam mencari keberuntungan hidup. Kendaraan adalah alat untuk mencapai tujuan dengan cepat, mudah, aman dan nyaman.

Jika kita menempuh perjalanan dengan kendaraan yang bagus, ber-AC, harum dan cepat, maka perjalanan akan mudah dan menyenangkan. Ketika panas terik tak berkeringat, ketika hujan tak kebasahan, takkala angin kencang tak terhempaskan.  

Tapi, jangan lupa kendaraan juga harus bermafaat dalam membangun umat, menolong sesama dan mempermudah jalan dakwah. Ketiga pintu kebahagiaan tersebut merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan. Jika salah satunya tiada, yang lain tak bermakna. 

Kita mesti sadari, ketiga hal tersebut bukan tujuan hidup, tapi hanya sarana untuk meraih kebahagiaan hakiki, yakni berjumpa dengan Allah kelak di surga.  

Jika ketiga hal itu sebagai faktor eksternal, maka kebahagiaan harus ditopang dengan kualitas internal yakni dikokohkan dengan pondasi keimanan, buka pintunya dengan kunci keikhlasan, hiasi dengan pengharum kesyukuran.

Selain itu, pagari dengan tembok kesabaran, isi dengan mebeler ilmu pengetahuan dan selalu bersihkan dengan sapu ketauhidan

Allahu a’lam bish-shawab.

sumber : republika 

Ummu Mutiah, Perempuan Pertama Penghuni Surga

sumber gambar : dari sini


Fatimah Az-Zahra, walaupun putri kesayangan Rasulullah SAW, namun tidak pernah manja. Pantang baginya meminta sesuatu kepada sang ayah. Hidupnya sederhana, dan taat beribadah. Sebagai seorang istri, serta ibu dari Hasan dan Husein, Fatimah selalu sabar dan ikhlas. Tugas kesehariannya dijalani sendiri, seperti menggiling gandum sampai tangannya lecet. Tidak ragu mengangkut air untuk kebutuhan keluarga hingga alasnya berbekas di dadanya. Rumah Fatimah selalu bersih, dan rapi berkat keuletannya mengurus perabotan di rumah.
Suatu hari Fatimah menanyakan kepada ayahnya, siapakah perempuan yang pertama kali masuk surga? Rasulullah menjawab, “Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui perempuan pertama masuk surga, selain Ummul Mukminin, dia adalah Ummu Mutiah.”
“Siapakah Mutiah itu, ya Rasulullah? Di manakah dia tinggal?” tanya Fatimah penasaran. Karena tidak ada yang mengenal Mutiah. Rasulullah menjelaskan, Ummu Mutiah yang dimaksud adalah perempuan yang tinggal di pinggiran Kota Madinah.
Jawaban itu membuat Fatimah tercengang. Ternyata bukan dirinya perempuan yang masuk surga pertama kali. Padahal Fatimah sebagai putri Rasulullah, dan telah menjalankan ibadah, amalan, serta bermuamalah dengan baik. Untuk memenuhi rasa penasaran, Fatimah berkunjung ke rumah Mutiah di pinggiran Madinah. Dia ingin menyelidiki amalan dan ibadah apa yang dilakukan Mutiah hingga Rasulullah menyebut namanya sebagai perempuan terhormat.
Keesokan harinya, Fatimah pamit kepada suaminya mengunjungi kediaman Mutiah. Dia mengajak putranya Hasan. Setelah mengetuk pintu, memberi salam, terdengar suara dari dalam rumah. “Siapa di luar?” tanya Mutiah.
Fatimah menjawab, “Saya Fatimah, putri Rasulullah.”
Mutiah belum mau membuka pintu, malah balik bertanya, “Ada keperluan apa?”
Fatimah menjawab, ingin bersilaturahim saja. Dari dalam rumah Mutiah kembali bertanya, “Anda seorang diri atau bersama yang lain?”
“Saya bersama Hasan, putra saya,” jawab Fatimah dengan sabar.
“Maaf, Fatimah,” kata Mutiah, “Saya belum mendapat izin dari suami untuk menerima tamu laki-laki.”
“Tetapi Hasan anak-anak,” balas Fatimah.
“Walaupun anak-anak, dia lelaki juga. Besok saja kembali lagi setelah saya mendapat izin dari suami saya,” timpal Mutiah.
Fatimah tidak bisa menolak. Setelah mengucapkan salam ia bersama Hasan meninggalkan kediaman Mutiah. Keesokan harinya, Fatimah kembali mengunjungi rumah Ummu Mutiah. Kali ini bukan hanya Hasan yang ikut, Husein pun ingin ikut ibunya. Tiba dikediaman Ummu Mutiah, terjadi lagi dialog dari balik pintu. Menurut Mutiah, suaminya telah mengizinkan Hasan masuk ke rumahnya. Sebelum pintu dibuka, Fatimah mengatakan, kali ini bukan hanya Hasan yang ikut, melainkan bertiga bersama Husein. Mendengar jawaban Fatimah, Mutiah urung membukakan pintu. Mutiah menanyakan, apakah Husein seorang perempuan? Fatimah meyakinkan Mutiah bahwa, Husein cucu Rasulullah, saudaranya Hasan. “Dia seorang anak laki-laki.”
“Saya belum meminta izin kepada suami kalau Husein mau berkunjung ke rumah ini,” kata Mutiah.
“Tapi Husein masih anak-anak,” tegas Fatimah.
“Walaupun anak-anak, Husein laki-laki juga. Maafkan Fatimah, bagaimana kalau kembali besok, setelah saya meminta izin kepada suami,” kata Mutiah.
Fatimah tidak bisa memaksa Mutiah. Dia bersama Hasan dan Husein kembali pulang, namun besok berjanji untuk datang lagi. Keesokan harinya, Mutiah menyambut kedatangan Fatimah bersama Hasan dan Husein dengan gembira. Kali ini kehadiran Hasan dan Husein telah mendapat izin dari suaminya. Fatimah pun bersemangat ingin segera ‘menyelidiki’ ibadah, amalan, dan muamalah apa saja yang dilakukan perempuan pertama masuk surga ini.
Keadaan rumah Mutiah jauh dari yang dibayangkan Fatimah. Rumahnya sangat sederhana, tanpa perabotan mewah. Namun, semuanya tertata rapi dan bersih. Tempat tidur beralaskan seprai putih yang harum. Setiap sudut ruangan tampak segar dan wangi membuat penghuninya senang berlama-lama di rumah. Hasan dan Husein pun merasa betah bermain di kediaman Ummu Mutiah.
Selama berkunjung, Fatimah tidak menemukan sesuatu yang istimewa dilakukan Mutiah. Namun, Ummu Mutiah kelihatan sibuk mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. “Maaf Fatimah, saya tidak bisa duduk tenang menemanimu, karena saya harus menyiapkan makanan untuk suami,” ungkap Mutiah yang terlihat sibuk.
Mendekati waktu makan siang semua masakan sudah tersedia. Mutiah menuangkan satu per satu makanan di wadah khusus untuk dikirim ke suaminya yang bekerja di ladang. Yang membuat Fatimah heran, selain makanan, Mutiah membawa bekal sebuah cambuk.
“Apakah suamimu penggembala?” tanya Fatimah. Menurut Mutiah, suaminya bekerja sebagai petani, bukan penggembala.
“Lalu, untuk apa cambuk tersebut?” tanya Fatimah semakin penasaran.
Mutiah menjelaskan, cambuk ini sangat penting fungsinya. Jika suami Mutiah merasa masakan istrinya tidak enak, dia ridha cambuk yang ‘bicara’. Mutiah akan menyerahkan cambuk kepada suaminya untuk dipukulkan ke punggungnya. “Berarti aku tidak bisa melayani suami dan menyenangkan hatinya,” kata Mutiah.
“Apakah itu kehendak suamimu?” tanya Fatimah.
“Ini bukan kehendak suami. Suamiku orang yang penuh kasih sayang. Semua ini kulakukan karena keinginanku sendiri, agar jangan sampai menjadi istri durhaka kepada suami.” Jawaban Mutiah menjadi jawaban atas misteri yang selama ini dicari Fatimah. Masya Allah, demi menyenangkan suami, Mutiah rela dicambuk.
“Aku hanya mencari keridhaan dari suami, karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik dan suami ridha kepada istrinya,” ujar Mutiah.
“Ternyata ini rahasianya,” gumam Fatimah.
Mutiah kini balik heran, “Maksudnya rahasia apa, Fatimah?”
Fatimah menjelaskan bahwa Rasulullah mengatakan dirinya (Ummu Mutiah) adalah perempuan yang diperkenankan masuk surga pertama kali.
“Pantas saja kelak Mutiah menjadi perempuan pertama masuk surga. Dia menjaga diri dan sangat tulus berbakti kepada suami,” ujar Fatimah dalam hati.
Apa yang dilakukan Mutiah bukan simbol perbudakan suami kepada istrinya. Melainkan cermin ketulusan, dan pengorbanan istri yang patut mendapat balasan surga.

Sumber: www.republika.co.id

Kisah Cinta Fatimah ra dan Ali ra

sumber gambar : dari sini


Siapa yang berkata bahwa kisah cinta sejati terbaik di muka bumi ini adalah roman antara Romeo dan Juliet karya William Shakepeare, sesungguhnya belum pernah mendengar kisah cinta Ali bin Abi Thalib RA, sang pemuda cekatan yang cinta akan ilmu dan putri Sang Rasulullah Sallahu ‘alaihi Wasallam sendiri, si wanita tegar yang lembut, Fatimah Az zahra. Pasti, karena kisah Romeo dan Juliet tak lebih dari sebuah roman yang dilukis di atas kertas. Berbanding terbalik dengan kisah yang dilandasi iman dan cinta pada Allah Subhanahu wata’alla dan ini benar-benar terjadi sekitar 14 abad silam menghiasi indahnya langit jazirah Arab pada masa itu.

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. 
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. 
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.


Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.


Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” 
(kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)
 
sumber : dari sini

DICARI : Istri Sholehah

sumber gambar : dari sini



Pernikahan adalah suatu hal diagungkan dalam Islam. Disebutkan pula bahwa menikah adalah salah satu sunnah Rasul. Ketika seseorang itu melaksanakan “ibadah yang menyenangkan” ini dengan niat dan cara yang benar, in syaa Allah akan membawa keberkahan. Bahasa Islam-nya…sakinah, mawaddah warahmah. Pasangan suami-istri yang sholeh-sholehah akan menjadikan rumah sebagai surganya, “baiti jannati”.

Nah, kali ini kita akan membahas “Istri Sholehah”. Topik ini sangat pas bagi kita kaum muslimah, baik yang sudah menikah, apalagi bagi yang belum menikah. Bagi kita yang sudah menikah, kita bisa mengingat kembali tentang kewajiban kita, sebagai bahan muhasabah dan motivasi untuk lebih baik. Bagi yang belum menikah, tentu sebagai upaya perbaikan diri dalam rangka bersiap untuk menyambut amanah menjadi seorang istri.

Menjadi istri yang sholehah adalah cita-cita bagi setiap muslimah. Bagaimana tidak? Allah menjanjikan bagi mereka surga. Mereka boleh masuk dari pintu surga yang mana saja. Masya Allah… adakah yang ngga kepengen??
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya)

Bagi seorang lelaki, apa sih keuntungan mendapatkan istri sholehah?
Al-Bukhari rahimahullâh berkata (9/132): Musaddad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Yahya mengabarkan kepada kami dari dari ‘Ubaidillah, ia berkata: Sa’id bin Abi Sa’id mengabarkan kepadaku dari bapaknya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kemuliaan nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka nikahilah wanita yang baik agamanya niscaya kamu beruntung.” (HR. Bukhari: 5090 dan Muslim: 1466)

Tetapi apakah muslimah sholehah hanya untuk lelaki sholeh?? Dan begitu pula sebaliknya??
Ya, begitulah yang tersebut dalam firman Allah, surat An-Nuur ayat 26, yang artinya : "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)"
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir (jilid 6 Pustaka Imam Syafii halaman 32) dijelaskan bahwa yang dimaksud laki-laki yang baik dalam ayat ini adalah Rasulullah saw sebagai manusia yang paling baik sedangkan wanita yang baiknya adalah Aisyah ra sebagai isteri Rasulullah saw (Haditsul ifki). Abdurrahman bin Zaid bin Aslam pun menjelaskan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah wanita yang jahat hanya pantas bagi laki-laki yang jahat dan laki-laki yang jahat hanya cocok bagi wanita yang jahat. Wanita yang baik hanya layak bagi laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik hanya patut bagi wanita yang baik. Jadi, maksud kata “untuk’ dalam ayat ini tidak bisa digeneralisir sebagai “kepastian mendapat”, melainkan “selayaknya, sepantasnya”. Seperti yang kita baca dalam siroh, ada suami istri yang “tidak sepadan”dalam pandangan kita. Namun pastilah Allah memiliki maksud dibalik itu. Seperti kisah Asiyah yang beristrikan Fir’aun, istri nabi Luth dan juga istri nabi Nuh. Maka yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita terus berupaya “memantaskan diri” di hadapan Allah untuk mendapat jodoh yang terbaik. Secara tidak langsung, dapat diartikan bahwa istri yang sholehah juga bisa menjadi motivasi bagi setiap muslim laki-laki untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya.

Ciri-ciri istri yang sholehah 
Dalam Al Qur’an surat An Nisa ayat 34 disebutkan, bahwa cirri-ciri wanita sholehah adalah qonitat dan hafidzat. Firman Allah, “Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS. An Nisa 34)

1.      Qonitat
  1. Taat kepada Allah SWT
Berusaha menjalankan semua perintah-nya dan menjauhi larangan-Nya. Mencintai Allah dan rasul-Nya di atas segalanya.
  1. Taat kepada suami
Taat kepada suami adalah suatu hal yang diperintahkan oleh Allah. Ketaatannya adalah dalam batas-batas yang tidak melanggar syari’at-nya. Nabi SAW, "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Khalik (Sang Pencipta)." (HR. Ahmad). Dalam kesempatan lain, Rasulullah menyebutkan keutamaan taat pada suami. Beliau SAW bersabda, "Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik wanita (istri) adalah yang ketika engkau memandangnya akan membuatmu bahagia. dan jika diperintah, dia akan mentaatimu. dan jika engkau tidak bersamanya, dia akan menjagamu dalam dirinya dan menjaga apa-apa yang engkau miliki." (HR Abu Daud, Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
2.      Hafidzat
Maksudnya adalah ia menjaga kehormatan dirinya dan juga apa-apa yang telah diamanahkan kepadanya, termasuk harta suaminya.
Selain kedua kriteria tersebut, masih terdapat juga beberapa criteria istri yang sholehah dalam Al Qur’an dan Hadits.

Allah berfirman, “Jika sampai Nabi menceraikan kalian,7  mudah-mudahan Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, muslimat, mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat  dari kalangan janda ataupun gadis.” (QS At-Tahrim 5)
Dalam ayat ini disebutkan beberapa sifat istri yang shalihah (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu Katsir, 8/132) yaitu:
a. Muslimat: wanita-wanita yang tunduk kepada perintah Allah dan perintah Rasul-Nya secara ikhlas.
b. Mukminat: wanita-wanita yang membenarkan perintah dan larangan Allah SWT.
c. Qanitat: wanita-wanita yang taat.
d. Taibat: wanita-wanita yang selalu bertaubat dari dosa-dosa mereka, mematuhi Rasulullah meski harus meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa nafsunya.
e. ‘Abidat: wanita-wanita yang banyak melakukan ibadah kepada Allah SWT.
f. Saihat: wanita-wanita yang berpuasa. 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy- Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)

Istri yang sholehah juga bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar’i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436)

Istri yang sholehah juga menjadi partner yang baik bagi suami dalam mendidik anak.Nabi Muhammad SAW bersabda, “setiap anak dilahirkan dalam kedaan diatas fitrah (Islam). Maka, kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadin Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Al-Bukhari, no.1384 dan Muslim, no.2658. Hadits dari Abu Hurairah)”

Semoga Allah membimbing kita dalam menyempurnakan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. aamiin

Wallohu a’lam bish showab